Islam, Mendidik Karakter Anak Bangsa di Negera Pancasila



Islam yang merupakan Agama Rahmatullah harus menjadi rujukan dalam setiap langkah untuk membangun karakter yang bermoral dan berakhlak mulia di era seperti saat ini khususnya di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. mendidik rakyat yang berkarakter mulia memang sulit tapi bukan hal yang tak mungkin dilakukan sehingga akan memperkecil kerusakan di bumi Indonesia.
 

Indonesia : Bangsa Berkarakter ?
Pendidikan dalam segala dinamika adalah ruh perjalanan sejarah suatu bangsa. Kita dapat melihat betapa pendidikan dengan gagah membangun Indonesia. Dalam revolusi kemerdekaan, KI Hajar Dewantara menggagas citra pendidikan kebangsaan. Penumbuhan jiwa nasionalisme menjadi titik fokus membenahi mentalitas anak Indonesia. Mereka dididik menjauhi sikap pengecut dan menampilkan heroisme melawan penjajah Belanda.
Perjuangan itu memakan waktu panjang dan proses yang tidak mudah. Belanda tidak menyukai pergerakan pejuang pendidikan ini. Mereka mengancam akan membubarkan Taman Siswa. Ancaman itu tidak melemahkan perjuangan Ki Hajar. Sebaliknya, beliau membalas ancaman Belanda dengan mendirikan cabang Taman Siswa. Penjajah menyerah dan membiarkan pejuang Indonesia membangun semangat kemerdekaan melalui pendidikan.
Cuplikan kisah inspiratif di ruang kuliah itu membawa penulis tertarik menulis bagaimana pendidikan dapat membentuk karakter. Mengapa menarik bicara karakter? Sebab belakangan bangsa ini semakin menjauh dari nilai-nilai berkarakter. Berbagai penyimpangan sosial seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, problematika bullying (kekerasan) di sekolah dan seks bebas menjamur. Anak Indonesia kehilangan kepribadian, jati dirinya dan terbawa arus pergaulan tidak tentu arah.
Sebagai contoh, berdasarkan Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 32% remaja (14 – 18 tahun) pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 21,2% remaja putri pernah melakukan aborsi dan 97% remaja melakukan seks bebas disebabkan banyak situs porno di internet. Kejadian ini menyedihkan dan mengundang keprihatinan banyak kalangan atas lemahnya pendidikan karakter bagi pelajar di sekolah.

Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Islam  
Berbagai persoalan itu tentu membutuhkan solusi terintegrasi dan konstruktif. Sehingga akhirnya pemerintah Indonesia berinisiatif meluncurkan gagasan pendidikan karakter. Tentu saja gagasan itu “wajib” direspons positif dan didukung. Sebab berpeluang melahirkan generasi Indonesia yang lebih baik. Dalam tulisan ini sendiri, penulis berusaha mengemukakan pendidikan karakter dalam pandangan Islam. Tapi sebelum jauh membahas, kita perlu mendapatkan pemahaman utuh pemaknaan karakter.
Menurut Sigmund Freud, character is striving sistem with underly behaviour, karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang bisa ditampilkan secara mantap. Karakter terbentuk dari internalisasi nilai lingkungan yang terpatri dalam kepribadian seseorang. Sumbernya dapat berasal dari pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan.
            Dalam konteks ke-Islaman pendidikan karakter diterjemahkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.  Quraish Shihab misalnya membawa konsep semangat pendidikan karakter berjiwa Qur’ani. Menurut beliau, pendidikan karakter banyak bersumber dari Al – Qur’an yang melibatkan akal dan kalbu.
            Akal dapat diartikan sebagai aspek kognitif dalam dunia pendidikan yang mendorong pikiran bekerja mencerna teori pendidikan. Teori ini diteruskan dalam bentuk perasaaan (afektif) dan psikomotorik (tindakan). Keduanya oleh Quraish Shihab disatukan dengan istilah kalbu. Artinya pendidikan karakter adalah pendidikan yang melibatkan nilai kebaikan berupa intelektual, emosional dan spiritual. 
            Untuk menanamkan jiwa berkarakter, Islam menggariskan peran strategis keluarga. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga dapat menjadi “school of love”, sekolah kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga disebut “madrasah mawaddah wa rahmah”, sebuah tempat merangkai cinta sejati dan kasih sayang.
Tidak heran Islam memberikan perhatian besar kepada pembinaan keluarga (usrah) yang merupakan basis dasar bagi ummah (bangsa) di masa depan. Ketika orang tua memberikan teladan baik di rumah, anak mudah mengikuti dan sebaliknya. Untuk itu, setiap anggota keluarga harus terus berproses dan belajar sepanjang hayat (long life education)
            Selain keluarga, faktor sekolah memainkan peranan strategis. Sekolah hendaknya jangan hanya sekedar tempat “transfer pengetahuan” Mengutip Frenkel,  sekolah bukan hanya menyampaikan pengetahuan melainkan mengusahakan usaha dan proses pembelajaran berorientasi nilai (value oriented enterprise). Untuk itu, guru harus dapat memberikan penekanan kajian estetika dan etika. Estetika  dapat diartikan segala sesuatu yang indah dan disenangi manusia. Etika mengacu kepada standar nilai yang berlaku di masyarakat baik bersumber dari agama, akhlak, adat istiadat dan lainnya. Sehingga diharapkan lulusan sekolah dapat terpenuhi standar pemilahan baik dan buruk.

Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Pancasila
Pancasila sebagai rumusan luhur founding fathers adalah aktualisasi dari nilai agama, pendidikan, adat istiadat, budaya dan modal sosial. Nilai itu mengkristal dalam filsafat yang menghubungkan manusia dengan Allah SWT (habblum minallah), manusia dengan manusia (habblum minannas) dan manusia dengan lingkungan. Pancasila mampu melahirkan persatuan dan kesatuan Indonesia yang memiliki heterogenitas suku, agama dan budaya.
 Secara ideologis, Pancasila dapat menyatukan berbagai pandangan pejuang Indonesia sehingga dapat melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Secara lebih jauh sila Pancasila banyak melukiskan nilai normatif dan agung karakter bangsa Indonesia. Makna itu dapat terbaca dalam butir sila dalam Pancasila.
Sila pertama membawa kita meyakini dan mengakui prinsip ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari. Segala tingkah laku baik ucapan, perbuatan dan tindakan kelak dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya setiap umat beragama harus saling menghormati dan menghargai keyakinan pemeluk agama lain.
Sila kedua mengajak masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Melanggar hak manusia lain tidak dibolehkan karena bertentangan dengan prinsip diskriminatif. Dalam impelementasinya, setiap pribadi diajak belajar bertindak adil dan arif memandang hak asasi yang dimiliki orang lain.
Sila ketiga menginginkan adanya persatuan dalam membela bangsa dan negara. Kepentingan nasional harus diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi, golongan, partai dan kedaerahan. Ketika negara menuntut loyalitas, setiap pribadi berkarakter harus terpanggil secara sadar melakukan pembelaan terhadap negara.
Sila keempat mengajak masyarakat peka terhadap permasalahan kehidupan perpolitikan nasional. Momentum pemilu misalnya harus dijadikan ajang proses memilih pejuang rakyat hasil musyawarah mufakat. Sila ini menekankan kehidupan masyarakat harus berlandaskan hikmah, musyarawah, mufakat dan semangat kekeluargaan.
Sila kelima menekankan pentingnya keadilan dan kebersamaan demi mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara diajak aktif memberikan sumbangan sesuai kemampuannya. Ini bertujuan agar semakin cepat tercapainya kesejahteraan lahir dan batin yang menjangkau semua rakyat Indonesia.

Keteladanan pemimpin
            Semua konsep normatif karakter dapat diwujudkan ketika adanya pemimpin yang memberikan teladan. Seperti dikatakan Ki hajar Dewantara seorang pemimpin harus memiliki tiga karakteristik kepemimpinan. Pertama ing ngarso sung tuladha ( di depan memberikan contoh). Keteladanan menjadi mutlak sebab bahasa perbuatan lebih dapat meresap daripada perkataan. Kedua ing madya mangun karsa ( di tengah memberikan semangat). Seorang pemimpin harus mampu menjadi motivator ulung agar semangat bawahannya tidak mudah kendur. Ketiga tut wuri handayani (di belakang memberikan daya kekuatan)
Keteladanan dipandang sebagai model efektif menumbukan sikap positif dalam membangun karakter bangsa. Sebab melemahnya karakter pemuda misalnya sebagai asset masa depan Indonesia salah satu sebabnya karena krisis keteladanan. Maka, para pemimpin bangsa harus mampu mengimplementasikan ajaran luhur Islam dan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dan semua itu menjadi tanggung jawab bersama semua komponen bangsa. 

Referensi: http://nuraniku-unj.blogspot.com/2012/05/islam-pancasila-dan-pendidikankarakter.html

0 komentar:

Posting Komentar